Tuesday, May 27, 2014

Season Review : Steven Gerrard

Gerrard untuk yang ketiga kalinya merasakan betapa pahitnya menjadi yang kedua, ironis memang meskipun selalu menjadi nomor satu di hati Alex Curran, Gerrard seperti tak berdaya untuk menjadi nomor satu di Liga Inggris. Di musim 2013/2014 ini kapten Timnas Inggris untuk Piala Dunia 2014 kembali merasakan pahitnya menjadi runner up setelah sebelumnya merasakan hal yang sama di musim 2001/2002 dan 2008/2009. Gerrard seperti seolah olah tak diijinkan untuk mencium trofi EPL, dia hanya dibolehkan untuk mencium FA Cup, Carling Cup, UEFA Cup, Champions League, dan *ehem* "kamera".

Di usianya yang sudah menginjak 33 tahun Gerrard dimainkan Rodgers sebagai deep playmaker, sebuah posisi baru bagi sang suami Alex Curran tentunya setelah sebelumnya dimainkan sebagai pemain di belakang striker oleh Rafael Benitez. Gerrard kini menjadi pengatur tempo permainan Liverpool sehingga kita tidak akan lagi melihat dia melakukan penetrasi ke dalam kotak penalti seperti beberapa tahun lalu, kini Stevie-G bermain sejajar dengan dua bek tengah atau bahkan kadang lebih dalam lagi. Posisi yang menuntut intelegensi tinggi dan Gerrard sukses menjalankan tugasnya dengan baik sebagai deep-Playmaker, meskipun kesuksesannya menempati posisi baru tersebut ternoda oleh insiden terpelesetnya yang membuat Demba Ba berhasil mencetak gol dan memperkecil peluang Liverpool untuk menjadi juara meskipun pada akhirnya memang gagal juara.

Tak mudah bermain di posisi seperti Gerrard musim ini, Pirlo yang merupakan pelopor istilah "fake regista" pun mengakui kejeniusan Gerrard yang berhasil memainkan dengan baik peran barunya. Karena posisinya yang sangat berbahaya jika kehilangan bola itulah kenapa Rodgers selalu memainkan Henderson untuk mengcover Gerrard agar lebih leluasa mengatur tempo permainan dan ketika 3 laga tanpa Henderson terlihat bahwa Gerrard kesulitan untuk mengatur permainan karena Lucas yang menggantikan peran Henderson bermain statis tidak mobile untuk melakukan pressing terhadap lawan.

Gerrard kini tidak lagi melepaskan longball diagonal seperti musim lalu di mana Enrique ataupun Glen Johnson harus bersiap untuk menerima bola di sisi lapangan, taktik Rodgers musim ini mengharuskan Gerrard lebih jeli ketika melapaskan umpan karena harus memaksimalkan peluang untuk mencetak gol. Dengan tidak terlalu banyak bergerak di lapangan stamina Gerrard pun bisa optimal selama 90 menit karena lebih menggunakan intelejensinya dibandingkan speed and power.

Dengan bermain semakin di dalam berarti kesempatan untuk menciptakan gol lewat open play pun otomatis semakin mengecil, namun Gerrard tak kehabisan akal untuk memberikan kontribusi untuk Liverpool. Set pieces menjadi senjata mematikan milik Liverpool musim ini dan Gerrard adalah aktor dibalik ketajaman The Reds lewat skema set piece. Gerrard seolah menunjukkan kepada orang lain bahwa dia juga bisa seperti David Beckham yang begitu terkenal dengan tendangan melengkungnya, sehingga ada yang mengatakan bahwa nama panggilan Gerrard sudah berubah menjadi Setpieces-G karena kemampuannya setpiecesnya yang luar biasa di musim ini.

Meskipun kembali hanya menjadi yang kedua, setidaknya Gerrard telah mencapai targetnya di awal musim yang menargetkan Liverpool finish di empat besar. Dan musim depan Gerrard harus menularkan mental Eropa miliknya kepada rekan rekannya yang belum pernah merasakan atmosfer di UCL. Sebagai pemain paling senior yang sudah pernah merasakan dua kali final sudah layak dan sepantasnya jika Gerrard menjadi pemimpin bagi rekan rekannya yang mungkin belum pernah mendengarkan anthem Liga Champions secara langsung sebagai pemain.

No comments:

Post a Comment