Friday, September 21, 2012

Number One is Carragher


Number one is Carragher, number two is Carragher............ demikian chant yang menggema di KFC Ayani Pontianak pada jum’at dinihari ketika match BSC Young Boys vs Liverpool. Tidak peduli meskipun Liverpool kebobolan 3 gol dan meski SCTV di KFC banyak semutnya. Laga yang membuat jantung para kopites bergetar lebih cepat dari biasanya. Meskipun sebenarnya chant ini dinyanyikan ketika ada wanita cantik yang muncul dari tangga  #teteup

Sebelum laga dimulai semuanya udah sibuk ngecek TL harap harap cemas siapa yang bakalan menjadi starter, apakah Assaidi, Yessil, Suso akan menjadi starter? Sehingga akhirnya line up resmi keluar, dan semuanya senang karena sesuai dengan harapan. Berikut adalah starting eleven vs BSC : Jones, Carragher (C), Coates, Wisdom, Enrique, Hendo, Sahin, Suso, Downing, Assaidi, Pacheco. Baru berjalan beberapa menit, Downing menusuk dari sisi kanan dan melepaskan crossing yang sebenarnya sangat sangat tidak membahayakan sama sekali. Namun apadaya maskud hati ingin membuang bola, tapi justru sundulan bek yg satu membentur muka temannya dan bola malah masuk kegawang. 1-0 untuk Liverpool, Downing punish you and punish everyone.

Serangan Liverpool yang sangat baik dan terorganisir tidak berimbang dengan performa lini belakangnya, terutama Enrique dan *ehem* Carra. Gol balasan dari Young Boys berawal dari Enrique yang terlalu maruk menahan bola dan justru malah membuat lawan berhasil menyamakan skor. Assaid tampil istimewa di kiri, berkali kali berhasil melewati bek lawan namun tetap kesulitan memberikan bola ke Pacheco. Lini tengah Liverpool malam itu benar benar dominan, mungkin karena ada kesamaan dari pola permainan Sahin dan Suso sehingga sangat mudah mengalirkan bola ke kanan ataupun ke kiri.

Gol kedua Liverpool berawal dari corner Sahin yang dengan sukses disundul oleh agan Wisdom. Wisdom pun berhak mendapatkan cendol pada malam itu, sementara Enrique mungkin di bata. Babak pertama berakhir dengan keunggulan LFC 2-1, KFC sudah tenang dan terlihat sejumlah rekan saya sibuk ngecek TL.
Bencana terjadi pada babak ke dua, keasikan menyerang malah Liverpool harus kebobolan dua gol. Bahkan pelatih Young Boys langsung mengganti Zarate yang mencetak gol untuk memperkuat pertahanan. Strategi parkir bus pun sedang dipersiapkan sodara sodara. Rodgers beraksi cepat dengan memasukkan Borini untuk menggantikan Pacheco. Dan Coates pun berhasil mencetak gol penyama kedudukan lewat sundulannya menyambut sepakan STEWART DOWNING.

Rodgers melakukan pergantian lagi, kali ini dengan memasukkan Shelvey menggantikan Assaidi. Dan semuanya pun kebingungan, akankah Hendo yang bergeser kekanan atau bagaimana. Ternyata Suso yang bergeser kekanan dan berkali kali mempertontonkan skill yang luar biasa. Shelvey menjadi pahlawan dengan dua golnya sekaligus membalas kritik terhadapnya pekan lalu ketika berhadapan dengan Sunderland. We’ve got three points, dan semuanya keluar dari KFC dengan muka senyum tapi dalam hati menangis karena OGOTnya 5 rebu.

Sekali lagi, revolusi itu butuh proses . Biarkan Rodgers berkreasi dengan sebaik baiknya, supaya dia bisa menemukan komposisi yang terbaik. Para pemain muda sudah memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, sekarang tinggal menunggu giliran Ngoo, Adorjan, Yessil, Ibe, Pelosci dkk untuk unjuk gigi di tim utama... You’ll Never Walk Alone

Wednesday, September 19, 2012

REVOLUSI ITU BUTUH PROSES DAN TERKADANG MENYAKITKAN


Brendan Rodgers di daulat sebagai pengganti King Kenny yang dipecat oleh Owner setelah gagal membawa Liverpool meraih tiket ke Liga Champions *turnamen yang dimenangi Liverpool sebanyak 5 kali*, dengan reputasi sebagai pelatih “bergenre” tiki taka ala Barcelona. Meskipun sebenarnya tiki takanya om Rodgers ini Cuma sampai di tengah doang, tapi swansea berhasil menjadi tim yang ball possesionnya paling baik di EPL. Bahkan 2 pemainnya masuk sebagai pemain dengan pass akurasi tertinggi se eropa, yaap se eropa sodara sodara. 

Dengan reputasi yang demikian wajar jika supporter menaruh ekspekstasi yang tinggi kepada beliau. Mungkin banyak yang berharap Liverpool mainnya bisa mirip dengan *ehem* Barcelona, tim yang disebut sebut berasal dari luar angkasa. Main passing passingan dari bawahan sampai kedepan gawang lawan, kemudian mencetak banyak goal *seandainya Xavi, Iniesta, dan Messi bergabung LFC*

Tapi apa daya nasib berkata lain, pada pekan pertama Liverpool digilas WBA dengan skor telak 0-3. Seketika itu juga terpancar kesedihan dari wajah sejumlah pria berbaju merah yang pulang dari cafe champions. Permainan teka reki Rodgers dipatahkan dengan mudah oleh Steve Clarke yang merupakan assisten Kenny di musim kemarin. Mungkin banyak yang menyalahkan Phil Dowd atas kartu merah dan dua penalty misterius. Tapi diluar itu LFC memang tidak bisa berbuat banyak, gol cantik WBA pun tak kunjung berbalas sampai akhirnya Agger diusir keluar dan bencana dua penalti. Apa yang terjadi ? kenapa bisa kalah ? wasitnya taeek, demikian sejumlah cacian yang terdengar *seandainya Dowd mendengar*. 

Menyalahkan wasit memang sudah menjadi tradisi di Indonesia, dan itu memang sudah tidak bisa dihilangkan. Sehingga kalau Suarez dijatuhkan tapi wasitnya tidak memberikan pelanggaran langsung keluar suara “oi sit!!” yakali kalau teriak di depan Dowd juga dia gak bakalan ngerti, harusnya teriak “ oi ref!!” mungkin dia akan berpaling.

Pekan kedua bertemu sang juara EPL musim lalu, Liverpool bermain sangat baik dan harusnya layak memperoleh kemenangan. Gol heading Skrtel dan freekick superkeren dari Suarez dibalas dengan dua gol “heng hengan” dari Yaya dan Tevez. Nyesek men nyesek, penyakit seri masih belum bisa hilang dari LFC. Omelan sudah mulai berkurang, karena serangan di twitter tidak se sporadis pada pekan pertama. Alasan : “lawan juara musim lalu pek”

Pekan ketiga LFC menjamu Arsenal yang lagi galau karena ditinggal dua pemain andalannya, dan lagi lagi LFC kembali menelan kekalahan. Podolski dan Cazorla jadi aktornya, Anfield sudah tak angker lagi. Fans arsenal di DEPAC CAFE pun bernyanyi “Fuck Off Van Persie, We have Podolski”

Sampai pekan lalu ketika nobar di Ozone, dua kali tiang dan sejumlah peluang kembali menggagalkan kemenangan pertama LFC di EPL musim ini. Penyakit tiang gawang yang sudah sangat kronis benar benar membuat saya geram. Kenapa tidak ada angin yang membelokkan sedikit saja kedalam tendangan dari glenjo dan Gerrard? Tuhan, ini sungguh tidak adil....... kami harusnya bisa menang 3-1, tapi #ahsudahla

Seperti biasa, pada saat pertandingan semuanya sibuk mengomentari taktik dari om Rodgers. Kenapa Shelvey gak diganti ama Sahin, kenapa Downing gantikan Borini, kenapa bukan Suarez yang terlalu maruk? Sebelum pertandingan lawan Sunderland, semuanya ngomel kenapa biasanya Suarez yang disimpan ditengah. Kenapa bukan Borini? Borini kan CF murni? Mungkin karena om Rodgers mendengar komentar kami, pada malam itu dia memasang Borini di tengah diapit Suarez di kiri dan Sterling di kanan. Hasilnya Borini berhasil membuat 2 peluang, Sterling pun apik mengacak acak sektor kiri Sunderland. Tapi tetap saja LFC yang kebobolan duluan, semuanya langsung ngomel menyalahkan Reina yang tidak sigap memotong umpan silang tersebut. Meskipun akhirnya  Suarez berhasil menyamakan kedudukan. Tapi tetap saja nyeseknya luar biasa.

Setelah melihat taktik dari Rodgers, saya beranggapan bahwa Suarez benar benar diberikan kebebasan untuk mengacak acak pertahanan lawan dengan skill driblingnya yang “Dewa” tersebut. Itulah kenapa Suarez diletakkan Rodgers di tengah, karena ketika di kiri terlihat jelas kalau Suarez tidak bebas bergerak. Biarkan Rodgers menyempurnakan taktiknya dalam beberapa match, dia masih muda dan pasti terus akan belajar.
Banyak hal positif yang kita dapatkan dari Rodgers, termasuk dengan masuknya Sterling di starting eleven. Shelvey pun memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa dia bisa meneruskan Gerrard, bukan Hendo #ehhhh. Dengan bergabungnya Assaidi dan Yessil, terlihat bahwa Rodgers sudah memiliki rencana jangka panjang. Semoga dua bintang ini bisa bermain apik kelak.

Berikanlah Rodgers waktu, revolusi itu butuh proses dan terkadang menyakitkan. Keep Support and always remember We’ll Never let Them Walk Alone

Monday, September 17, 2012

ADDICTED TO LFC PART 1

Setelah sekian lama terbengkalai akhirnya dapat juga mood untuk ngetik bahan postingan di blog tercinta ini. Blog yang sebelumnya udah dipersiapkan untuk proyek spektakuler tapi malah macet total, semacet jeruju kalau lagi banyak truk yang ngantri solar subsidi. Setelah postingan beberapa hari saat yang lalu mengenai duit dan kegalauan, sekarang saatnya membahas “ My Favorite Football Club” Liverpool FC...... jengjeng

Liverpool FC, club yang memenangi 18 kali Liga Inggris, 5 kali Liga Champions, dan sejumlah trofi lainnya menjadi klub favorit saya semenjak jamannya Michael Owen ( yang katanya orang orang adalah Judas ). Setelah melihat goalnya kegawang Brazil di WC 2002, saya langsung mencari tau klubnya di majalah Bola karena ada om saya langganan majalah bola dan langsung klop sama LFC sejak pertemuan pertama. Yaap, love at first meet is great beibeh, not at first sight.

Ketika pertama kali nonton LFC di TV7 pada musim 2003/2004 ( sekarang udah jadi Trans7 kalo gak salah ), saat itu Owen masih duet sama Heskey ( pemain yang lebih hebat dari Lionel Messi menurut @heskeyheskey ) . Defendernya Carra dan Hyppia dilindungi oleh Didi Hamman ( pemain long shot paling keren setelah Gerrard dan Riise ). Gaya mainnya aneh, karena Carra dan Hyppia sama sama sering longpass dari bawah untuk ditujukan kepada Owen. Tapi itulah gaya klasik Inggris yang sebenarnya ( padahal Houiller itu orang Prancis ). Terus berharap adanya bola bola rebound, maklum tengahnya disesaki oleh para sniper elite : Gerrard, Hamman, Riise yang bisa menghujani gawang lawan dengan tembakan tembakan keras dan akurat ( tipe sniper yang sampai sekarang belum ada penerusnya ). Permainan pada masa Houiller yang menoton dan mudah dibaca membuat Liverpool tetap kesulitan menjuarai EPL, tapi tetap lolos ke UCL.

Sampai ketika Owen pindah ke Madrid karena dia beranggapan bahwa di Liverpool dia akan sulit untuk merasakan gelar juara Liga Champions meskipun akhirnya #ehem Liverpool memenangi Liga Champions yang kelima kalinya setelah dengan dramatis mengalahkan Milan lewat adu penalti. Dari sinilah lahir chant yang melegenda , “ In Istanbul, we won it five time” dan juga menjadi olokan dari supporter lainnya, yeah “ WON” = lampau dan sampai akhirnya dijuluki History FC.

Meskipun Michael Judas Owen pindah, saya tetap menyukai LFC. Meskipun saya sering stalking kondisi dia di Real Madrid dengan membaca berita bola. Entah bagaimana saya bisa suka dengan klub ini, yang padahal jelas jelas gak pernah juara EPL, mainnya gak sekeren AC Milan atau Arsenal pada masa Henry. Kalau sekarang mungkin kita bisa tau dengan gampang sejarah sejarah klub, hanya dengan googling semua informasi bisa didapat. Tapi ketika saya masih SMP, warnet di Sanggau belum ada, kalau onlen meski pakai telkomnetinstan diall ke 080989empat kali yang kecepatannya mungkin setara dengan larinya Carragher sekarang alias lambat.

Sebagai generasi sebelum era speedy dan telkomflash saya bangga dengan kisah cinta antara saya dan LFC. Dulu tidak ada wikipedia yang bisa dengan gampangnya menjelaskan sejarah klub lengkap dengan legenda legendanya, saya harus menunggu tiap hari selasa dan jum’at untuk membeli majalah Bola demi melihat analisa pertandingan atau berharap dapat bonus poster yang ada pemain LFC nya. Dari situlah saya bisa tau kalau LFC menjuarai Liga Inggris 18 kali, karena biasanya didalam ulasan ulasan Bola ada diselipkan info info dan flashback kemasa lampau. Saya harus mengakui kalau saya baru tau dengan lengkap sejarah Liverpool adalah sejak saya kuliah pada tahun 2009, bahkan Kenny Dalglish dan Bill Shankly beserta sejumlah nama besarnya saya baru tau pada tahun 2009 ( Supporter macam apa saya ini ). Saya hanya kenal pemain yang pernah saya tonton dari rentang 2003 – sekarang.
Bencana datang ketika TV7 membuat EPL hanya bisa disaksikan di kota kota besar yang menggunakan antena. Ketika itu juga saya tidak bisa menonton Liverpool main di EPL kecuali kalau main di Liga Champions. Itupun jarang disiarkan, sampai ke babak 16 besar barulah saya bisa nonton Liverpool main di RCTI. Kenapa gak streaming aja??? YAKALI STREAMING PAKAI TELKOMNET, YOUTUBE AJA BELOM ADA NDE NDEEE, ADOBE FLASHPLAYER MUNGKIN MASIH DIDALAM KANDUNGAN........

Untungnya orang rumah berlangganan banyak koran lokal, mulai dari Equator, AP Post, sampai kapuas post ( Tribun yang sekarang katanya terbesar belum ada ding ). Jadi begitu baca koran mulainya bukan dari depan, tapi langsung buka kebelakang yang halaman ada halaman bolanya ( berasa baca komik jepang ). Kalo sekarang si era twitter hanya perlu beberapa menit bagi si om @detikcom untuk ngasi review pertandingan, dan kita yang gak nonton bisa dapat review gak nyampai sejam. Bahkan ada yang livetweet.

Dulu kalau Liverpool ada main malamnya, jam setengah 6 saya udah bangun untuk nonton Lensa Olahraga di ANTV atau Liputan 6 jam 6nya. Dulu acara favorit itu Spirit football di metro atau Total football di antv. Kalau mau liat cuplikan gol dari semua liga harus mau bersabar selama seminggu, sekarang mah tinggal download atau subscribe channelnya MostarLFC di yutub.

Dibalik susahnya mendapatkah informasi tentang Liverpool, disitulah ternyata saya benar benar sudah jatuh cinta kepada klub ini. Saya sendiri susah menjelaskan alasannya, tapi saya suka sama Liverpool FC..... to be continued * terlalu panjang kisah cintaku dengan LFC :-p*